Selasa, 19 Oktober 2010

Sejarah Karl Mark "Materialisme"

A. Materialisme Sejarah

Menurut Giddens, materialisme Marx tidak berangkat dari suatu "posisi ontologi apapun juga yang dipikirkan secara logis." Materialisme Marx hanya berangkat dari suatu bentuk pemahaman bahwa kesadaran manusia merupakan produk interaksi antara manusia dengan dunia secara dialektis, di mana di dalam interaksi tersebut, manusia secara aktif memberikan bentuk kepada dunianya, dan demikian pula sebaliknya, dunia juga memberikan bentuk kepada manusia. Di dalam hal ini ia nampak berseberangan dengan Feuerbach dan para ahli filsafat materialisme lainnya yang terlebih dahulu, yang memahami hubungan kesadaran dengan dunia, sebagai suatu hubungan yang bersifat "searah", dari dunia menuju kesadaran, sehingga manusia akhirnya seperti hanya menjadi "robot" yang dikendalikan oleh lingkungan materiilnya. Ia mengkritik mereka, dan mengatakan bahwa duniapun sebenarnya dimodifikasi oleh manusia melalui "kerja", sehingga dunia yang dicerap oleh pancaindera kita sebenarnya "sudah dipersiapkan" oleh masyarakat lewat "kegiatannya".
Menurut Giddens, Marx menafsirkan sejarah sebagai "suatu proses penciptaan dan pemuasan serta penciptaan-ulang dari kebutuhan-kebutuhan manusia yang terus menerus." Di sini konsep "kerja", yang berarti interaksi-kreatif antara manusia dengan alam, menjadi penting, karena menjadi landasan dari masyarakat manusia. Dengan demikian, diperlukan "suatu ilmu pengetahuan mengenai masyarakat yang akan berlandaskan pada penelitian tentang hubungan yang kreatif dan dinamis antara manusia dan alam." Inilah prinsip umum materialisme sejarah Marx menurut Giddens, yaitu interaksi kreatif dan dinamis antara manusia dan alam. Dan Giddens berpendapat bahwa Marx tidak pernah mengatakan adanya suatu "hukum-hukum umum yang tetap" di dalam hal interaksi manusia dengan alam tersebut, kecuali mungkin sifat sosial (tidak individual) dari interaksi tersebut (di dalam Bab 3). "Logika" perkembangan masing-masing masyarakat memiliki ciri-ciri khas tertentu yang bersifat intern, sehingga "kita harus bertolak dari suatu pengkajian empiris terhadap proses-proses kehidupan sosial yang konkrit dan yang mutlak bagi keberadaan manusia." Di dalam hal ini Marx juga menolak suatu penafsiran yang bersifat teleologis terhadap sejarah. Adapun menurut Giddens, Marx menggunakan perbedaan-perbedaan pembagian kerja sebagai dasar atas tipologi masyarakatnya.

B. "Hasil Penerapan" Materialisme Sejarah

Di dalam pembahasannya mengenai "hasil penerapan" materialisme sejarah oleh Marx, Giddens di dalam Bab 2 ini membagi "hasil penerapan" tersebut ke dalam tiga bagian besar, yaitu pertama, sistem-sistem pra-kelas, termasuk juga di dalam masyarakat Timur, kemudian kedua, masyarakat kuno (Eropa), dan ketiga, masyarakat feodal dengan penekanan terhadap transisi dari feodalisme menuju kapitalisme. Pembahasan di sini akan dimulai dari yang pertama, yaitu sistem-sistem pra-kelas, dan kemudian baru lanjut ke yang kedua dan ketiga.

1. Sistem-Sistem Pra-Kelas

Pembahasan tentang sistem-sistem pra-kelas di dalam Bab ini melibatkan dua macam masyarakat, yaitu masyarakat suku dan masyarakat Timur. Marx, menurut Giddens, pada karya-karya awalnya hanya menggambarkan satu jenis garis perkembangan dari masyarakat suku, tetapi kemudian ia menggambarkan bahwa terdapat lebih dari satu garis perkembangan masyarakat suku, yaitu pertama, garis Eropa, dimana masyarakat suku berkembang menjadi masyarakat kuno, kedua, garis masyarakat Timur, di mana perkembangan dari masyarakat suku masih mengimplikasikan suatu bentuk sistem pra-kelas, dan ketiga, masyarakat suku Jerman, yang bersama hancurnya Kekaisaran Roma, berkembang menjadi feodalisme Eropa Barat.
Di dalam masyarakat suku, pembagian kerja hanya didasarkan atas jenis kelamin. Perempuan memiliki peran produksi yang lebih kecil dari laki-laki, dan sebagian besarnya bekerja membesarkan anak. Mereka hidup secara berpindah-pindah dan melakukan pekerjaan berburu, mengumpulkan bahan makanan ataupun menggembala. Sistem kepemilikan di dalam masyarakat suku masih bersifat komunal. Ketika mereka sudah mulai tinggal menetap, muncul pertambahan penduduk yang menghasilkan pembagian kerja yang lebih beragam, yang pada gilirannya, menghasilkan produk-produk yang berbeda-beda. Kontak antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya menimbulkan baik perang atau penaklukan maupun pertukaran produk (niaga). Perang dan penaklukan menghasilkan sistem perbudakan, sedangkan pertukaran produk menghasilkan suatu bentuk pembagian kerja yang lebih kompleks dan mulai menyajikan produksi komoditi (produksi barang-barang untuk ditukarkan di pasar). Dari perkembangan hubungan tukar-menukar inilah kemudian muncul suatu bentuk uang.
Di dalam pembahasannya mengenai masyarakat Timur, ada satu fenomena menarik yang merupakan ciri khas dari masyarakat Timur, yaitu ketahanannya terhadap perubahan, atau sifat stagnasinya. Marx melihat sifat ini disebabkan oleh dua hal, pertama, karena adanya sifat swasembada yang internal dari masyarakat desa, di mana sifat swasembada pertanian tersebut tidak menimbulkan pembagian kerja lebih lanjut dan membatasi pertumbuhan kota-kota, karena tidak adanya pertumbuhan urbanisasi. Kemudian yang kedua, stagnasi itu juga dapat dilihat dari tidak adanya kepemilikan atas tanah, sehingga adanya pertumbuhan penduduk tidak memiliki pengaruh apa-apa pada masyarakat Timur. Pertumbuhan penduduk yang bersambung dengan kepemilikan tanah biasanya meningkatkan nafsu memiliki dan menghasilkan suatu aktivitas ekspansi yang tiada hentinya, tetapi hal ini tidak bisa terjadi di Timur, karena tidak ada kepemilikan tanah. Masyarakat Timur ini masih dikategorikan oleh Giddens ke dalam sistem-sistem pra-kelas, karena menurut Marx, walaupun sudah ada suatu bentuk organisasi negara di dalam masyarakat Timur, tetapi ia tidak pernah melibatkan suatu sistem kelas yang maju, karena kepemilikannya di tingkatan lokal masih bersifat komunal.

2. Masyarakat Kuno

Menurut Giddens, analisa Marx terhadap masyarakat kuno dipusatkan pada kasus Roma. Walaupun di Roma kota memainkan peran yang sangat penting di dalam perekonomian, tetapi Roma tidak terlepas dari pengaruh kepemilikan tanah; para petani pemilik tanah di desa malah kebanyakan tinggal sebagai penduduk di kota. Sejalan dengan bertambahnya penduduk, hal ini menimbulkan kebutuhan akan perluasan wilayah. Tekanan kekurangan tanah menjadi kuat, karena tanah yang ada tidak digunakan untuk meningkatkan produktivitas. Adapun perluasan wilayah semakin memperluas perbudakan dan memusatkan kepemilikan tanah.
Penghisapan kaum ningrat semakin menjadi-jadi pada masa akhir negara Romawi, terutama melalui sistem riba, walaupun sistem ini tidak pernah menjadi suatu bentuk pengumpulan modal. Praktek Riba ini pada gilirannya malah semakin memiskinkan petani kecil yang kehidupannya sudah parah, karena sering diperintahkan untuk bertugas di medan perang. Bentuk penghisapan ini pada akhirnya benar-benar menghancurkan rakyat Romawi dan menggantikan ekonomi petani kecil dengan ekonomi perbudakan murni. Perkembangan dari sistem perbudakan ini berjalan seiring dengan tumbuhnya perusahaan-perusahaan pertanian besar (latifundiae). Tetapi kegagalan dari perdagangan dan industri untuk mencapai titik tertentu, dan semakin parahnya kondisi sebagian besar dari penduduk, malah mengakibatkan perusahaan-perusahaan pertanian tersebut menjadi tidak ekonomis lagi. Perdagangan dan kota-kota juga mengalami kemunduran dan keruntuhan, sehingga akhirnya perbudakan mulai dihapuskan dan perusahaan-perusahaan pertanian yang besar dipecah-pecah dan disewakan dalam bentuk pertanian kecil. Sistem ekonomi dengan demikian kembali lagi kepada pertanian dengan skala kecil. Romawi akhirnya menjadi hancur karena situasi internalnya sendiri; kekayaan yang sebenarnya dapat dikembangkan menjadi tenaga-tenaga produktif yang bagus, malah dihambat oleh komposisi masyarakatnya sendiri.

Feodalisme dan Transisi Menuju Kapitalisme

Giddens menjelaskan tahap dini feodalisme dengan merujuk kepada karya Engels, Asal Usul Keluarga, Pemilikan Pribadi dan Negara, karena menurut dia, Marx tidak begitu banyak membahas mengenai tahap dini feodalisme. Tahap dini feodalisme dimulai dari serangan kaum barbar atas Roma yang memang sudah hancur dari dalam. Orang-orang barbar yang menghadapi tugas mengurus wilayah-wilayah yang diambil-alih terpaksa mengambil unsur-unsur dari Romawi, dan merubah sistem pemerintahan mereka. Pemerintahan didominasi oleh panglima militer, yang pada perkembangan selanjutnya dikelilingi oleh para bangsawan dan kaum elite terpelajar. Peperangan dan kekacauaan yang terjadi selama beberapa abad di Eropa Barat, mengakibatkan kemiskinan dan penghambaan yang meluas. Sehingga dengan demikian terjadilah transformasi menuju sistem feodalisme.
Berbeda dengan masyarakat kuno, maka pada feodalisme, pusat perekonomian ada di pedesaan.
Menurut Giddens, Marx, di dalam pembahasannya mengenai feodalisme, lebih banyak mencurahkan perhatiannya terhadap transisi dari feodalisme ke kapitalisme. Ada dua tahap kemajuan sejarah yang terdapat di dalam transisi dari masa feodalisme menuju kapitalisme. Yang pertama adalah gerakan kelas pedagang dari perdagangan murni ke dalam produksi. Hal ini terjadi pada sekitar abad keduabelas, ketika kota-kota berkembang menjadi pusat perdagangan. Berkembangnya perdagangan ini mengakibatkan pemakaian uang yang makin luas dan terjadinya pertukaran komoditi di dalam sistem ekonomi feodal, yang memudahkan praktek-praktek lintah darat di kota-kota, memundurkan kekayaan para bangsawan feodal, dan memakmurkan para petani kecil, sehingga mampu memenuhi kewajiban pada tuannya melalui uang atau bahkan memerdekakan dirinya dari kuasa tuannya. Di Inggeris sendiri perbudakan sudah benar-benar dihapuskan pada akhir abad keempatbelas. Walaupun begitu pada tahap ini, perkembangan kapitalisme memiliki keterbatasannya sendiri. Ada beberapa sebab dari keterbatasan itu, yang pertama adalah karena kota-kota dikuasai oleh serikat-serikat sekerja yang "sangat membatasi jumlah magang dan lulusan permagangan yang boleh dipekerjakan oleh sang majikan". Selain itu serikat-serikat sekerja itu juga memisahkan diri dari modal niaga.
Kemudian sebab yang kedua adalah bahwa mayoritas penduduk pada saat itu masih terdiri dari kaum tani yang merdeka. Tahapan sejarah yang kedua di dalam masa transisi menuju kapitalisme adalah para produsen yang bergerak sendiri dari produksi untuk memperluas bidang-bidang kegiatan mereka, agar bisa meliputi perdagangan. Tahapan ini didahului oleh "pengambil-alihan alat-alat produksi" dari para petani, dan proses ini terjadi pada periode yang berbeda dengan cara yang bermacam-macam di berbagai negeri. Di Inggeris misalnya, pada akhir abad kelimabelas, "peperangan antar golongan feodal mengakibatkan menurunnya sumber-sumber kekayaan si bangsawan" , sehingga pembantu-pembantu kaum bangsawan yang dibubarkan dilemparkan ke pasaran sebagai kaum proletar. Reformasi juga semakin mendorong terjadinya proses ini. Tanah-tanah luas milik gereja dibagi-bagi kepada "bangsawan favorit" atau dijual murah kepada para spekulan, yang kemudian mengusir para pengolah tanah. Proses pengambil-alihan tersebut memunculkan suatu lapisan yang kemudian dinamakan proletariat atau "buruh-upahan".
Walaupun begitu, menurut Marx, peristiwa-peristiwa belum merupakan memenuhi syarat-syarat bagi munculnya kapitalisme. Peristiwa yang juga sama pentingnya dengan proses pangambil-alihan itu adalah perluasan perdagangan lewat lautan yang jauh, sebagai akibat dari penemuan-penemuan di lapangan geografis (penemuan benua Amerika dan Tanjung Harapan). Perdagangan lewat lautan ini menimbulkan pemasukan kapital yang cepat, serta ditambah lagi dengan penemuan emas dan perak yang mengakibatkan terjadinya banjir logam mulia di Inggeris. Tumbuh pabrik-pabrik baru yang bukan merupakan bagian dari serikat-serikat sekerja. Perpabrikan ini, berbeda dengan serikat-serikat sekerja, tidak mendasarkan dirinya pada pertukangan, tetapi pada pemintalan tenun. Banjirnya logam mulia yang telah disebutkan di atas mengakibatkan kenaikan harga yang sangat tinggi, sehingga memberikan keuntungan-keuntungan yang besar dalam perdagangan dan perpabrikan, serta menghancurkan tuan-tuan tanah besar, dan melipatgandakan jumlah buruh-upahan. Kaum borjuis yang mulai tumbuh ini terus berkembang secara progresif. Pada periode kapitalisme itu sendiri, menurut Marx, ada dua tingkatan organisasi produksi. Yang pertama adalah perpabrikan&emdash;memperkenalkan sistem pembagian kerja yang melibatkan banyak orang&emdash;dan yang kedua adalah mekanisasi dan teknologi.