Senin, 18 Oktober 2010

Teori Belajar Humanistik

BAB I
PENDAHULUAN
I.                  LATAR BELAKANG
Psikologi  humanistic juga memberikan sumbangan bagi  pendidikan,pendidikan humanistic berusaha mengembangkan individu keseluruhan melalui pembelajaran yaitu berkisar aspek emosional,social, mental dan ketrampilan dalam berkarier maka teori belajar tertentu akan berimplikasi pada pembelajaran tertentu pula atau tergantung  dari sudut pandang mana proses belajar itu terjadi dari sini kita bisa mengenali kemampuan untuk mengarahkan sendiri prilakunya didalam belajar, dan aliran yang muncul pada tahun 1950-an di balik itu ada beberapa tokoh penting dalam belajar humanistik adalah: Arthur W.combs,abraham maslow,dan carl rogers.
         Disini Seorang guru harus memahami prilaku siswa dengan memahami dunia persepsi siswa tersebut,belajar berinisiatif sendiri dan siswa memiliki kesempatan untuk membuat keputusan,menentukan pilihan dan melakukan penilaian,belajar dengan utuh bahwa belajar dengan tipe ini akan menghasilkan perasaan memiliki pada diri murid dan muid merasa terlibat dalam belajar sekaligus memotivasi diri sendiri dalam belajar dari pada sekedar menjadi penerimaan pasif dalam proses belajar dan didalam humanistik anak-anak di beri kesempatan dan kebebasan untuk memuaskan dorongan ingin tahunya untuk memenuhi minatnya untuk menemukan sesuatu yang penting dan berarti tentang dunia sekitarnya.
11.   RUMUSAN MASALAH
1. Tentang pengertian belajar humanistik.
2. Tokoh-tokoh humanistik dan sejarahnya.
3. Cara penerapan belajar humanistic

BAB II
                               
                                    PEMBAHASAN


1.                 PENGERTIAN
Perhatian psikologi humanistik yang terutama tertuju pada masaalah bagaimana tiap-tiap individu di pengaruhi dan dibimbing. Oleh karena itu pribadi yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalama mereka sendiri. Menurut para pendidik aliran humanistik penyusunan dan penyajian materi pembelajaran harus sesuai dengan perasaan dan perhatian siswa.[1]
Menurut Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Atau proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambatlaun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.
            Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Para ahli humanistik melihat adanya dua bagian pada proses belajar, ialah :
  1. Proses pemerolehan informasi baru,
  2. Personalia informasi ini pada individu.[2]
Psikologi humanistik atau disebut juga dengan nama psikologi kemanusiaan adalah suatu pendekatan yang multifaset terhadap pengalaman dan tingkah laku manusia, yang memusatkan perhatian pada keunikan dan aktualisasi diri manusia. Bagi sejumlah ahli psikologi humanistik ia adalah alternatif, sedangkan bagi sejumlah ahli psikologi humanistik yang lainnya merupakan pelengkap bagi penekanan tradisional behaviorisme dan psikoanalis. Psikologi humanistik juga memberikan sumbangannya bagi pendidikan alternatif yang dikenal dengan sebutan pendidikan humanistik (humanistic education). Pendidikan humanistic berusaha mengembangkan individu keseluruhan melalui pembelajaran nyata. Pengembangan aspek emosional, sosial, mental, dan keterampilan dalam berkarier menjadi fokus dalam model pendidikan humanistic.
Aliran Psikologi Humanistik selalu mendorong peningkatan kualitas diri manusia melalui penghargaannya terhadap potensi-potensi positif yang ada pada setiap insan. Seiring dengan perubahan dan tuntutan zaman, proses pendidikan pun senantiasa berubah. Kata kunci: psikologi, humanistik, pendidikan
            Salah satu ide yang penting dalam pendidikan humanistic adalah siswa harus mempunyai kemampuan untuk mengarahkan sendiri prilakunya dalam belajar (self regulated learning), apa yang akan dan sampai tingkatan mana, kapan, dan bagaimana mereka akan belajar. Ide pokoknya adalah bagaimana siswa belajar mengarahkan diri sendiri, sekaligus motivasi diri sendiri dalam belajar dari pada sekedar menjadi penerimaan pasif dalam proses belajar. Pendekatan humanistic dalam pembelajaran menekankan pentingnya emosi atau perasaan, komunikasi terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap siswa. Sehingga tujuan yang inggin dicapai dalam pendidikan bukan hanya dalam dominan kognitif saja tetapi lebih pada membentuk individu yang ertanggung jawab, penuh perhatian terhadap lingkungannya, serta mempunyai kedewasaan emosi dan spiritual. Menurut para pendidik humanistik hendaknya guru menekankan nilai-nilai kerja sama, saling membantu dan menguntungkan, kejujuran dan kreativitas untuk diaplikasikan dalam proses pembelajaran.
            Para ahli psikilogi pendidikan menyatakan bahwa pendidikan humanistik bukan sebuah strategi  belajar, melainkan sebuah filosofi yang belajar untuk memahami keunikan-keunikan yang dimiliki siswa, bahwa siswa mwmpunyai cara sendiri dalam mengkontruksi pengetahuan yang dipelajarinya. Selain itu juga pendidikan humanistik memeandan proses belajar bukanlah sarana tranformasi pengetahuan saja tetapi lebuk ke bagaimana mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan. Menurut Miller (1976) menggagas model pendidikan pada bidang humanizing classroom, memanusiawikan ruang kelas. Maksudnya, dalam proses pembelajaran guru hendaknya memperlakukan siswa-siswanya sesuai denga kondisi mereka masing-masing. Menurutnya dalam bidang in pengembangannya pada ”pendidikan afektif”, pendidikan kepribadian atau pendidikan nilai. Tawaran miller ini mendorong siswa untuk :
    1. Menyadari diri sebagai suaatu proses pertumbuhan yang sedang dan akan terus berubah
    2. Mencari konsep dan identitas diri
    3. Memadukan kesadaran hati dan pikiran[3]


2       SEJARAH DAN TOKOH TEORI HUMANISTIK
2.1. Sejarah
            pada akhir tahun 1940-an munculah suatu prespektif psikologi baru. Orang-orang yang telibat dalam penerapan psikologilah yang berjasa dalam perkembangan ini, misalnya ahli-ahi psikologi klinik, pekerja-pekerja social dan konseler, bukan merupakan hasil penelitian dalam bidang proses belajar. Gerakan ini berkembang dan kemudian dikenal sebagai psikologi humanistic, eksestensial, perceptual, atau fenomenologikal. Psikologi ini berusaha untuk memahami prilaku seseorang dari sudut si pelaku (behaver), bukan pengamat (obsever). Dalam dunia pendidikan, aliran humanistic muncul pada tahun 1950 sampai dengan 1970-an dan mungkin perubahan-perubahan dan inovasi yang terjadi selama dua decade yang terakhir pada abad 20 ini pun juga akan meneju pada arah ini.[4]
Dari pernyataan diatas ada juga pernyataan bahwa aliran humanistik muncul pada tahun 1940-an sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap pendekatan psikoanalisa dan behavioristik. Sebagai sebuah aliran dalam psikologi, aliran ini boleh dikatakan relatif masih muda, bahkan beberapa ahlinya masih hidup dan terus menerus mengeluarkan konsep yang relevan dengan bidang pengkajian psikologi, yang sangat menekankan pentingnya kesadaran, aktualisasi diri, dan hal-hal yang bersifat positif tentang manusia. Dalam tulisan singkat ini akan dijelaskan mulai dari tokoh tokoh penting dalam aliran humanistik dan teorinya yang relevan dengan psikologi pendidikan, dan diakhiri dengan aplikasi psikologi humanistik dalam dunia pendidikan, khususnya dalam proses pembelajaran.[5]
Psikologi humanistik merupakan salah satu aliran dalam psikologi yang muncul pada tahun 1950-an, dengan akar pemikiran dari kalangan eksistensialisme yang berkembang pada abad pertengahan. Pada akhir tahun 1950-an, para ahli psikologi, seperti : Abraham Maslow, Carl Rogers dan Clark Moustakas mendirikan sebuah asosiasi profesional yang berupaya mengkaji secara khusus tentang berbagai keunikan manusia, seperti tentang : self (diri), aktualisasi diri, kesehatan, harapan, cinta, kreativitas, hakikat, individualitas dan sejenisnya. Kehadiran psikologi humanistik muncul sebagai reaksi atas aliran psikoanalisis dan behaviorisme serta dipandang sebagai “kekuatan ketiga “ dalam aliran psikologi. Psikoanalisis dianggap sebagai kekuatan pertama dalam psikologi yang awal mulanya datang dari psikoanalisis ala Freud yang berusaha memahami tentang kedalaman psikis manusia yang dikombinasikan dengan kesadaran pikiran guna menghasilkan kepribadian yang sehat. Kelompok psikoanalis berkeyakinan bahwa perilaku manusia dikendalikan dan diatur oleh kekuatan tak sadar dari dalam diri.
Kekuatan psikologi yang kedua adalah behaviorisme yang dipelopori oleh Ivan Pavlov dengan hasil pemikirannya tentang refleks yang terkondisikan. Kalangan Behavioristik meyakini bahwa semua perilaku dikendalikan oleh faktor-faktor eksternal dari lingkungan.
Dalam mengembangkan teorinya, psikologi humanistik sangat memperhatikan tentang dimensi manusia dalam berhubungan dengan lingkungannya secara manusiawi dengan menitik-beratkan pada kebebasan individu untuk mengungkapkan pendapat dan menentukan pilihannya, nilai-nilai, tanggung jawab personal, otonomi, tujuan dan pemaknaan.
Dalam hal ini, James Bugental (1964) mengemukakan tentang 5 (lima) dalil utama dari psikologi humanistik, yaitu:
1. Keberadaan manusia tidak dapat direduksi ke dalam komponen-komponen.
2. Manusia memiliki keunikan tersendiri dalam berhubungan dengan manusia lainnya.
3. Manusia memiliki kesadaran akan dirinya dalam mengadakan hubungan dengan
    orang lain
4. Manusia memiliki pilihan-pilihan dan dapat bertanggung jawab atas pilihan-
    pilihanya.
5. Manusia memiliki kesadaran dan sengaja untuk mencari makna, nilai dan
    kreativitas.
Terdapat beberapa ahli psikologi yang telah memberikan sumbangan pemikirannya terhadap perkembangan psikologi humanistik. Sumbangan Snyggs dan Combs (1949) dari kelompok fenomenologi yang mengkaji tentang persepsi. Dia percaya bahwa seseorang akan berperilaku sejalan dengan apa yang dipersepsinya. Menurutnya, bahwa realitas bukanlah sesuatu yang yang melekat dari kejadian itu sendiri, melainkan dari persepsinya terhadap suatu kejadian.[6]


2.2.  Tokoh-tokoh Penting dalam Aliran Humanistik dan Teorinya
1. Abraham Maslow
Abraham H. Maslow adalah tokoh yang menonjol dalam psikologi humanistik. Karyanya di bidang pemenuhan kebutuhan berpengaruh sekali terhadap upaya memahami motivasi manusia. Sebagian dari teorinya yang penting didasarkan atas asumsi bahwa dalam diri manusia terdapat dorongan positif untuk tumbuh dan kekuatan-kekuatan yang melawan atau menghalangi pertumbuhan.[7] Maslow berpendapat, bahwa manusia memiliki hierarki kebutuhan yang dimulai dari kebutuhan jasmaniah-yang paling asasi- sampai dengan kebutuhan tertinggi yakni kebutuhan estetis. Kebutuhan jasmaniah seperti makan, minum, tidur dan sex menuntut sekali untuk dipuaskan. Apabila kebutuhan ini terpuaskan, maka muncullah kebutuhan keamanan seperti kebutuhan kesehatan dan kebutuhan terhindar dari bahaya dan bencana. Berikutnya adalah kebutuhan untuk memiliki dan cinta kasih, seperti dorongan untuk memiliki kawan dan berkeluarga, kebutuhan untuk menjadi anggota kelompok, dan sebagainya.
Hierarki kebutuhan manusia menurut Moslow ini mempunyai implikasi yang penting dalam dunia pendidikan dan harus diperhatikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Dia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar tidk mungkin berkembang kalau kebutuhan siswa tidak terpenuhi.[8] Atau dalam proses belajar-mengajar misalnya, guru mestinya memperhatikan teori ini. Apabila guru menemukan kesulitan untuk memahami mengapa anak-anak tertentu tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengapa anak tidak dapat tenang di dalam kelas, atau bahkan mengapa anak-anak tidak memiliki motivasi untuk belajar. Menurut Maslow, guru tidak bisa menyalahkan anak atas kejadian ini secara langsung, sebelum memahami barangkali ada proses tidak terpenuhinya kebutuhan anak yang berada di bawah kebutuhan untuk tahu dan mengerti Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan ini dapat mendorong seseorang berbuat lain untuk memperoleh pengakuan dan perhatian, misalnya dia menggunakan prestasi sebagai pengganti cinta kasih. Berikutnya adalah kebutuhan harga diri, yaitu kebutuhan untuk dihargai, dihormati, dan dipercaya oleh orang lain. Apabila seseorang telah dapat memenuhi semua kebutuhan yang tingkatannya lebih rendah tadi, maka motivasi lalu diarahkan kepada terpenuhinya kebutuhan aktualisasi diri, yaitu kebutuhan untuk mengembangkan potensi atau bakat dan kecenderungan tertentu. Bagaimana cara aktualisasi diri ini tampil, tidaklah sama pada setiap orang. Sesudah kebutuhan ini, muncul kebutuhan untuk tahu dan mengerti, yakni dorongan untuk mencari tahu, memperoleh ilmu dan pemahaman. Sesudahnya, Maslow berpendapat adanya kebutuhan estetis, yakni dorongan keindahan, dalam arti kebutuhan akan keteraturan, kesimetrisan dan kelengkapan.
 Maslow membedakan antara empat kebutuhan yang pertama dengan tiga kebutuhan yang kemudian. Keempat kebutuhan yang pertama disebutnya deficiency need (kebutuhan yang timbul karena kekurangan), dan pemenuhan kebutuhan ini pada umumnya bergantung pada orang lain. Sedangkan ketiga kebutuhan yang lain dinamakan growth need (kebutuhan untuk tumbuh) dan pemenuhannya lebih bergantung pada manusia itu sendiri.[9]





2. Carl R. Rogers
Carl R. Rogers adalah seorang ahli psikologi humanistik yang gagasan-gagasannya berpengaruh terhadap pikiran dan praktek psikologi di semua bidang, baik klinis, pendidikan, dan lain-lain. Lebih khusus dalam bidang pendidikan, Rogers mengutarakan pendapat tentang prinsip-prinsip belajar yang humanistik, yang meliputi hasrat untuk belajar, belajar yang berarti, belajar tanpa ancaman, belajar atas inisiatif sendiri, dan belajar untuk perubahan.[10]
Adapun penjelasan konsep masing-masing prinsip tersebut adalah sebagai berikut :
a. Hasrat untuk Belajar
Menurut Rogers, manusia mempunyai hasrat alami untuk belajar. Hal ini terbukti dengan tingginya rasa ingin tahu anak apabila diberi kesempatan untuk mengeksplorasi lingkungan. Dorongan ingin tahu untuk belajar ini merupakan asumsi dasar pendidikan humanistik. Di dalam kelas yang humanistik anak-anak diberi kesempatan dan kebebasan untuk memuaskan dorongan ingin tahunya, untuk memenuhi minatnya dan untuk menemukan apa yang penting dan berarti tentang dunia di sekitarnya.
b. Belajar yang Berarti
Belajar akan mempunyai arti atau makna apabila apa yang dipelajari relevan dengan kebutuhan dan maksud anak. Artinya, anak akan belajar dengan cepat apabila yang dipelajari mempunyai arti baginya.
c. Belajar Tanpa Ancaman
Belajar mudah dilakukan dan hasilnya dapat disimpan dengan baik apabila berlangsung dalam lingkungan yang bebas ancaman. Proses belajar akan berjalan lancer manakala murid dapat menguji kemampuannya, dapat mencoba pengalaman-pengalaman baru atau membuat kesalahan-kesalahan tanpa mendapat kecaman yang bisaanya menyinggung perasaan.
d. Belajar atas Inisiatif Sendiri
Belajar akan paling bermakna apabila hal itu dilakukan atas inisiatif sendiri dan melibatkan perasaan dan pikiran si pelajar. Mampu memilih arah belajarnya sendiri sangatlah memberikan motivasi dan mengulurkan kesempatan kepada murid untuk “belajar bagaimana caranya belajar” (to learn how to learn ). Tidaklah perlu diragukan bahwa menguasai bahan pelajaran itu penting, akan tetapi tidak lebih penting daripada memperoleh kecakapan untuk mencari sumber, merumuskan masalah, menguji hipotesis atau asumsi, dan menilai hasil. Belajar atas inisiatif sendiri memusatkan perhatian murid baik pada proses maupun hasil belajar.
Belajar atas inisiatif sendiri juga mengajar murid menjadi bebas, tidak bergantung, dan percaya pada diri sendiri. Apabila murid belajar atas inisiatif sendiri, ia memiliki kesempatan untuk menimbang-nimbang dan membuat keputusan, menentukan pilihan dan melakukan penilaian. Dia menjadi lebih bergantung pada dirinya sendiri dan kurang bersandar pada penilaian pihak lain.
Di samping atas inisiatif sendiri, belajar juga harus melibatkan semua aspek pribadi, kognitif maupun afektif. Rogers dan para ahli humanistik yang lain menamakan jenis belajar ini sebagai whole-person learning belajar dengan seluruh pribadi, belajar dengan pribadi yang utuh. Para ahli humanistik percaya, bahwa belajar dengan tipe ini akan menghasilkan perasaan memiliki (feeling of belonging ) pada diri murid. Dengan demikian, murid akan merasa terlibat dalam belajar, lebih bersemangat menangani tugas-tugas dan yang terpenting adalah senantiasa bergairah untuk terus belajar.
e. Belajar dan Perubahan
Prinsip terakhir yang dikemukakan oleh Rogers ialah bahwa belajar yang paling bermanfaat ialah bejar tentang proses belajar. Menurut Rogers, di waktu-waktu yang lampau murid belajar mengenai fakta-fakta dan gagasan-gagasan yang statis. Waktu itu dunia lambat brerubah, dan apa yang diperoleh di sekolah sudah dipandang cukup untuk memenuhi tuntutan zaman. Saat ini perubahan merupakan fakta hidup yang sentral. Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi selalu maju dan melaju. Apa yang dipelajari di masa lalu tidak dapat membekali orang untuk hidup dan berfungsi baik di masa kini dan masa yang akan dating. Dengan demikian, yang dibutuhkan saat ini adalah orang yang mampu belajar di lingkungan yang sedang berubah dan akan terus berubah.

 3. Arthur Combs
Perasaan, persepsi, keyakinan dan maksud merupakan perilaku-perilaku batiniah yang menyebabkan seseorang berbeda dengan yang lain. Agar dapat memahami orang lain, seseorang harus melihat dunia orang lain tersebut, bagaimana ia berpikir dan merasa tentang dirinya. Itulah sebabnya, untuk mengubah perilaku orang lain, seseorang harus mengubah persepsinya. Menurut Combs, perilaku yang keliru atau tidak baik terjadi karena tidak adanya kesediaan seseorang melakukan apa yang seharusnya dilakukan sebagai akibat dari adanya sesuatu yang lain, yang lebih menarik atau memuaskan. Misalkan guru mengeluh murid-muridnya tidak berminat belajar, sebenarnya hal itu karena murid-murid itu tidak berminat melakukan apa yang dikehendaki oleh guru. Kalau saja guru tersebut lalu mengadakan aktivitasaktivitas yang lain, barangkali murid-murid akan berubah sikap dan reaksinya. Sesungguhnya para ahli psikologi humanistik melihat dua bagian belajar, yaitu
1.  memperoleh informasi baru
2.  personalisasi informasi baru, ini pada individu
Adalah keliru jika guru berpendapat bahwa murid akan mudah belajar kalau bahan pelajaran disusun dengan rapi dan disampaikan dengan baik, sebab arti dan maknanya tidak melekat pada bahan pelajaran itu; murid sendirilah yang mencerna dan menyerap arti dan makna bahan pelajaran tersebut ke dalam dirinya. Yang menjadi masalah dalam mengajar bukanlah bagaimana bahan pelajaran itu disampaikan, tetapi bagaimana membantu murid memetik arti dan makna yang terkandung di dalam bahan pelajaran tersebut, yakni apabila murid dapat mengaitkan bahan pelajaran tersebut dengan hidup dan kehidupan mereka, guru boleh bersenang hati bahwa missinya telah berhasil. Semakin jauh hal-hal yang terjadi di luar diri seseorang (dunia) dari pusat lingkaran lingkaran (persepsi diri), semakin kurang pengaruhnya terhadap seseorang. Sebaliknya, semakin dekat hal-hal tersebut dengan pusat lingkaran, maka semakin besar pengaruhnya terhadap seseorang dalam berperilaku. Jadi jelaslah mengapa banyak hal yang dipelajari oleh murid segera dilupakan, karena sedikit sekali kaitannya dengan dirinya.

4. David Mills dan Stanley Scher
Ilmu Pengetahuan Alam selama bertahun-tahun hanya dibahas dan dipelajari secara kognitif semata, yakni sebagai akumulasi dari fakta-fakta dan teori-teori. Padahal, bagaimanapun, praktek dari ilmu pengetahuan selalu melibatkan elemen-elemen afektif yang meliputi adanya kebutuhan akan pengetahuan, penggunaan intuisi dan imajinasi dalam usaha-usaha kreatif, pengalaman yang menantang, frustasi, dan lain-lain. Berdasarkan fenomena tersebut, David Mills dan Stanley Scher (Roberts, 1975) mengajukan konsep pendidikan terpadu, yakni proses pendidikan yang mengikutsertakan afeksi atau perasaan murid dalam belajar.
Tujuan umum dari pendekatan ini adalah mengembangkan kesadaran murid-murid terhadap dirinya sendiri dan dunia sekitarnya, serta meningkatkan kemampuan untuk menggunakan kesadaran ini dalam menghadapi lingkungan dengan berbagai cara, menerima petunjuk-petunjuk internal dan menerima tanggung jawab bagi setiap pilihan mereka. Fungsi guru dalam pendekatan terpadu adalah untuk lebih membebaskan murid dari ketergantungan kepada guru, dengan tujuan akhir mengembangkan responsibilitas murid untuk belajar sendiri. Guru hanya membantu mereka dengan memberikan pilihan-pilihan yang masuk akal bagi pikiran mereka, dan jika perlu guru bisa menolak memberikan bantuan untuk halhal yang bisa ditangani oleh murid sendiri. Lebih jauh, David Mills dan Stanley Scher memaparkan tujuan pendidikan terpadu ini secara detail sebagai berikut :
a)      Membantu murid untuk mengalami proses ilmu pengetahuan, termasuk penemuan ide-ide baru, baik proses intelektual maupun afektif.
b)      Membantu murid dalam mencapai kemampuan untuk menggali dan mengerti diri mereka sendiri dan lingkungan sekitarnya dengan cara yang ilmiah.
c)      Meningkatkan pengertian dan ingatan terhadap konsep-konsep dan ide-ide dalam ilmu pengetahuan.
d)     Menggali bersama-sama murid, implikasi-implikasi dari aplikasi yang mungkin dari ilmu pengetahuan.
e)      Memungkinkan murid untuk menerapkan baik proses maupun pengetahuan ilmiah untuk diri mereka, serta meningkatkan kesadaran murid terhadap dunia mereka dan setiap pilihan yang mereka ambil.[11]
Penerapan metode gabungan antara kognitif dan afektif ini menunjukkan hasil yang lebih efektif dibanding pengajaran yang hanya menekankan aspek kognitif. Para siswa merasa lebih cepat menangkap pelajaran dengan menggunakan fantasi, role playing dan game , misalnya mengajarkan teori Newton dengan murid berperan sebagai astronot
3.  PRINSIP-PRINSIP UTAMA TEORI
Dalam bukunya Freedom To Learn, Carl Rogers menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar humanistik atau belajar humanistic yang penting diantaranya ialah:
1.      Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami
2.      Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran (subject matter) dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
3.      Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenal dirinya sendiri dianggap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
4.      Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
5.      Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
6.      Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya
7.      Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggung jawab terhadap proses belajar itu.
8.      Belajar atas inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan Lestari.
9.      Kepercayaan terhadap diri sendiri kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengkritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.
10.  Belajar yang paling berguna secara sosial didalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu.[12]
Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu:
1.      Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
2.      Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya
Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
1.      Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa
2.      Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses[13]

3.     PENERAPAN TEORI DALAM BELAJAR DAN PEMBELAJARAN PAI
Penerapan teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
Siswa berperan sebagai pelaku utama (stundent center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri, mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
a.  Guru Sebagai Fasilitator
            psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator.yang berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas si fasilitator.ini merupakan ikhtisar yang sangat singkat dari beberapa(guidelines)petunjuk.
1)      fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada pencintaan suasna awal,situasi kelompok,atau pengalaman kelas.
2)      Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan peroangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat  Lebih umum.
3)      Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk         melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi sendirinya,sebagai kekuatan pendorong,yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
4)      Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah di manfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
5)      ia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat di manfaatkan oleh kelompok.
6)      Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba menanggapi dengan cara yang sesuai,baik bagi individual ataupun bagi kelompok.
7)      Bilamana cuaca penerimaan kelas telah mantap,fasilitator berangsur-angsur dapat berperan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi,seorang anggota kelompok dan turut menyatakan pandangannya sebagai seorang individu,sebagai siswa yang yang lain.
8)      Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok perasaannya juga pikirannya dengan tidak menuntut,dan tidak memaksakan,tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja di gunakan atau di tolak oleh siswa.
9)      Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar.
10)  Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator,pimpinan harus mencoba untuk mengenali dan menerima keterbatasan-keterbasan sendiri. 

b.  Ciri-ciri Humanistik Mengenai Guru-guru Yang Baik dan Kurang Baik .
            Menurut hamacheek(1969);Guru-guru yang efektif tampaknya adalah guru-guru yang “manusiawi” mereka mempunyai rasa humor ,adil,menarik ,lebih demokratis daripada autokratik,dan mereka harus berhubungan dengan mudah dan wajar dengan para siswa,baik secara perorangan atau secara kelompok.ruang kelas tampak seperti suatu perusahaan kecil dengan pengertian mereka lebih terbuka,spontanitas dan mampu menyesuaikan diri kepada para perubahan.Guru yang tidak efektif jelas kurang memiliki  rasa hmor ,mudah menjadi tidak sabar,menggunakan kata-kata yang melukai dan mengurangi rasa ego,kurang berintragasi,cenderung bertindak otoriter,dan biasanya kurang peka terhadap kebutuhan para siswa.
Banyak ahli psikologi humanistik atau ahli perspektual  membedakan antara guru-guru yang  efektif  dan yang kurang efektif dengan menentukan apa yang mereka percayai dengan konsep diri sendiri dan apa yang mereka percayai tentang orang orang lain.
            Combs dan kawan-kawan percaya bahwa guru-guru merasa tentram terhadap diri mereka sendiri dan terhadap kemapuan mereka,mereka akan dapat memberikan perhatianya kepada orang lain,dan apabila mereka mempunyai perasaan bahwa mereka tidak mempunyai bekal yang cukup,mereka akan memberikan respon pada siswa-siswa mereka dengan cara mengembangkan aturan-aturan yang kaku dan bersifat otoriter dan peraturan-peraturan itu  digunakan untuk melindungi konsep diri masing-masing.
            Guru-guru yang percaya bahwa setiap siswa itu mempunyai kemampuan untuk belajar akan mempunayai prilaku yang lebih positif  terhadap siswa-siswa mereka. Menurut Combs dan kawan-kawan,ciri-ciri guru yang baik ialah:
1)      Guru yang mempunyai anggapan bahwa orang lain itu mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalahnya mereka sendiri dengan baik dan melihat bahwa orang lain mempunyai sifat ramah dan bersahabat dan bersifat ingin berkembang.dan  melihat orang lain sepatutnya di hargai.
2)      Guru yang melihat orang-orang dan prilaku mereka pada dasarnya berkembang dari dalam, jadi,bukan merupakan produk dari  peristiwa-peristiwa eksternal yang di bentuk dan digerakkan.dia melihat orang-orang itu punya kreatifitas dan dinamika,jadi bukan orang yang pasif dan lamban.
3)      Guru  yang menganggap orang itu pada dasarnya dapat di percaya dan dapat di andalkan dan dalam pengertian dia akan berprilaku menurut aturan-aturan yang ada.
4)      Guru yang melihat orang lain itu dapat memenuhi dan meningkatkan dirinya bukan menghalangi apalagi mengancam.[14]
Selain itu juga ada model pendidikan terbuka mencakup konsep mengajar guru yang fasilitatif yang dikembangkan Rogers diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun (1975) mengenai kemampuan para guru untuk menciptakan kondisi yang mendukung yaitu empati, penghargaan dan umpan balik positif.
Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah:
1.      Merespon perasaan siswa
2.      Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang
3.      Berdialog dan berdiskusi dengan siswa
4.      Menghargai siswa
5.      Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan
6.      menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa (penjelasan untuk memantapkan kebutuhan segera dari siswa)
7.      tersenyum pada siswa
Dari penelitian tersebut diketahui guru yang fasilitatif mengurangi angka bolos siswa, meningkatkan angka konsep diri siswa, meningkatnya supaya untuk meraih presentasi akademik termasuk pelajaran bahasa dan matematika yang kurang disukai, mengurangi tingkat problem yang berkaitan dengan disiplin dan mengurangi perusakan pada peralatan sekolah, serta siswa-siswa menjadi lebih spontan dan menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi.[15]

C.  Guru Yang Sejati.
            Mengajar yang baik bukan sekedar persoalan teknik-teknik dan metodologi belajar saja.untuk menjaga disiplin kelas,guru sering bertindak otoriter,menjahui siswa,bersikap dingin atau menyembunyikan rasa takut kalau di anggap lemah.nasihat yang sering diberikan misalnya agar guru bertidak keras pada saat permulaan.
           Ada beberapa mitos pengajaran yang telah berlaku beberapa generasi:
1)      Guru harus bersikap tenang.tak berlebih-lebihan dan dingin dalam setiap menghadapi sitiuasi.tidak boleh kehilangan akal,marah sekali atau manunjukkan kegembiraan yang berlebih-lebihan.dia harus netral dalam setiap masalah,dan tidak menunjukkan pendapat pribadinya.
2)      Guru harus dapat menyukai siswa-siswanya secara adil. Ia tidak boleh membenci atau memarahi siswa-siswanya.
3)      Guru harus memperlakukan siswa-siswanya secara sama,tanpa memperdulikan watak-watak individual siswa.
4)      Guru diperlukan oleh siswa-siswanya,karena siswa-siswanya belum dapat bekerja sendiri dan bertanggung jawab atas kegiatan belajar mereka sendiri dikelas.
        Guru sejati bukanlah  mahluk yang berbeda dengan siswa-siswanya.ia bukan mahluk yang serba hebat.ia harus dapat berpartisipasi di dalam semua kegiatan yang di lakukan oleh siswa-siswanya dan yang dapat mengembangkan rasa persahabatan dengan para siswanya dan tidak perlu merasakan kehilangan kehormatan karenanya.rasa was-was,takut dalam keadaan tertentu adalah hal yang wajar.

d.   Psikologi Humanistik Pada Pendidikan.
Guru-guru cenderung berpendapat bahwa pendidikan adalah pewaris kebudayaan,pertanggungan jawab sosial dan bahan pengajaran yang khusus,mereka percaya bahwa masalah ini tidak dapat di serahkan begitu saja kepada siswa.
     Pendekatan humanistik diikhtisarkan sebagai berikut:
1)      siswa akan maju menurut iramanya sendiri dengan suatu perangkat materi yang sudah ditentukan lebih dulu untuk mencapai suatu perangkat tujuan yang telah ditentukan.
2)      pendidik aliran humanistic mempunyai perhatian yang murni dalam pengembangan anak-anak perbedaan individual.
3)      ada perhatian yang kuat terhadap pertumbuhan pribadi dan perkrmbangan siswa secara individual tekanan pada diri secara individual adalah suatu usaha untuk mengimbangi keadaan-keadaan baru yang slalu meningkat yang di jumpai oleh siswa baik didalam masyarakat atau didalam rumah mereka sendiri.
            Selanjutnya Gagne dan Briggs mengatakan bahwa pendekatan humanistik adalah pengembangan nilai-nilai dan sikap pribadi yang dikehendaki secara sosial dan pemerolehan pengetahuan yang luas tentang sejarah,sastra,dan pengolahan strategi berpikir produktif  Pendekatan sistem bisa dapat di lakukan sehingga para siswa dapat memilih suatu rencana pelajaran agar mereka dapat mencurahkan waktu mereka bagi bermacam-macam tujuan belajar atau sejumlah pelajaran yang akan dipelajari atau jenis-jenis pemecahan masalah dan aktifitas-aktifitas kreatif yang mungkin dilakukan.pembatasan praktis dalam pemilihan hal-hal itu mungkin di tentukan oleh keterbatasan bahan-bahan pelajaran dan keadaan tetapi dalam pendekatan sistem  itu sendiri tidak ada yang membatasi keanekaragaman pendidikan ini.[16]


PENUTUP
Psikologi humanistik sangat relevan dengan dunia pendidikan, karena aliran ini selalu mendorong peningkatan kualitas diri manusia melalui penghargaannya terhadap potensi-potensi positif yang ada pada setiap insan. Seiring dengan perubahan dan tuntutan zaman, proses pendidikan pun senantiasa berubah. Dengan adanya perubahan dalam strategi pendidikan dari waktu ke waktu, humanistic memberikan arahan yang signifikan terhadap pencapaian tujuan ini .tanpa harus menuntut siswa untuk memaksakan dirinya dengan beberapa metode yang manual tapi dengan belajar humanistik murid dapat mengetahui dalam dirinya yaitu penumbuhan potensi untuk berkembang dengan usaha yang positif  disamping ada perhatian dan motivasi belajar dari si pendidik dan dalam humaistik bahwa tiap orang itu menentukan prilaku mereka sendiri mereka juga bebas dalam memilih kualitas hidup mereka tanpa harus terikat oleh lingkungannya.


























DAFTAR PUSTAKA

Drs. H.Baharuddin,M.pd.I. dan Nur Wahyuni,M.pd. teori belajar dan pembelajaran. Ar-ruzz media. Jogjakarta.2010
Rumini, S. dkk. 1993. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Fakultas
Ratna Syifa’a Rachmahana. (Dosen Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII Yogyakarta). Psikologi Humanistik dan Aplikasinya dalam Pendidikan.http://el-tarbaw.pdf.com. jurnal pendidikan islam. 2008, vol. 1. no.1. 
Drs. Wasty soemanto, M.Pd. psikologi pendidikan. PT. Renika Cipta. Jakarta.1998
Teori belajar humanistik secara teoritik menurut Carl Rogers. http://google.psikologi pendidikan.com
Akhmad Sudrajat, M.Pd. Psikologi Humanistik. 29.01.2008. http://akhmadsudrajat.wordpress.com/
Trimanjuniarso.wordpress.com. http://www.google.com.



[1] Drs. Wasty soemanto, M.Pd. psikologi pendidikan, 1998. hal 135
[2] Trimanjuniarso.wordpress.com. http://www.google.com.
[3] Drs. H.Baharuddin,M.pd.I. dan Nur Wahyuni,M.pd. teori belajar dan pembelajaran. 2010. hal 144
[4] John jarolimak dan Clifford D foster, 1976, hal 330. (dalam bukunya Drs. Wasty soemanto, M.Pd. psikologi pendidikan, 1998. hal 136).
[5] Ratna Syifa’a Rachmahana. (Dosen Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII Yogyakarta). Psikologi Humanistik dan Aplikasinya dalam Pendidikan.http://el-tarbaw.pdf.com. jurnal pendidikan islam. 2008, vol. 1. no.1. 


[6] Akhmad Sudrajat, M.Pd. Psikologi Humanistik. 29.01.2008. http://akhmadsudrajat.wordpress.com/
[7] Rumini, dkk. 1993.
[8] Drs. Wasty soemanto, M.Pd. psikologi pendidikan, 1998. hal 138
[9] Ratna Syifa’a Rachmahana. (Dosen Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII Yogyakarta). Psikologi Humanistik dan Aplikasinya dalam Pendidikan.http://el-tarbaw.pdf.com. jurnal pendidikan islam. 2008, vol. 1. no.1. 
[10] Rumini,dkk. 1993.

[11] Ratna Syifa’a Rachmahana. (Dosen Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII Yogyakarta). Psikologi Humanistik dan Aplikasinya dalam Pendidikan.http://el-tarbaw.pdf.com. jurnal pendidikan islam. 2008, vol. 1. no.1. 

[12] Drs. Wasty soemanto, M.Pd. psikologi pendidikan, 1998. hal 139
[13] Teori belajar humanistik secara teoritik menurut Carl Rogers. http://google.psikologi pendidikan.com
[14] Drs. Wasty soemanto, M.Pd. psikologi pendidikan, 1998. hal 235
[15] Teori belajar humanistik secara teoritik menurut Carl Rogers. http://google.psikologi pendidikan.com

[16] Drs. Wasty Soemanto, M.Pd. psikologi pendidikan, 1998. hal 238

Tidak ada komentar:

Posting Komentar